Rabu, 07 Mei 2014

Asal Usul Batu Kenyalau di Muara Sungai Sekadau

 Asal Usul Batu Kenyalau di Muara Sungai Sekadau


Ada setumpukan batu yang terletak di tepian Sungai Sekadau, bentuknya menyerupai sebuah rumah. Letaknya di tepian sebelah timur Sungai Sekadau kurang lebih 4000 meter dari muara Sungai.Batu tersebut akan tampak apabila musim kemarau yang panjang. Menurut cerita dari mulut-ke mulut terutama dari orang-orang yang sudah lanjut usia yang berdomisili di daerah pesisir pantai Sungai Sekadau, bahwa ada peristiwa dan cerita yang ajaib sehingga terjadi penumpukan batu yang menyerupai sebuah rumah tersebut.

Pada zaman dahulu, mungkin sekitar 1.000 tahun yang lalu, ada sebuah kampung yang bernama Kampung Kenyalau. Kampung tersebut dipimpim oleh seorang raja yang kaya raya. Raja tersebut bernama raja Bengis. Asal-usul penduduk daerah tersebut dari suku Dayak. Di kampung tersebut hidup pula seorang nenek miskin yang tinggal bersama cucunya.
Pada suatu hari, raja tersebut mengadakan pesta perkawinan anaknya. Dari berbagai daerah diundanglah para pembesar kerajaan untuk menyaksikan pesta perkawianan. Para undangan disajikan dengan beraneka jenis makanan dan minuman. Pada saat pesta perkawinan berlangsung, seorang cucu yang miskin di kampung tersebut ikut menonton dan dan menyaksikan acara demi acara prosesi pernikahan.
Oleh para pelayan anak tersebut diberikan nasi bungkus dengan daun pembungkus nasi (daun pempan). Ia begitu senang menerima pemberian nasi dari para pelayan itu. Bergegas ia pulang menemui neneknya di rumah memberi kabar bahwa ia juga diberi makan dalam acara pesta perkawinan tersebut. Karena sangat lapar, sampai dirumah ia langsung membuka bungkusan nasi tersebut dan langsung melahapnya.
Namun begitu kecewanya saat ia menggigit sepotong lauk dalam bungkusan tersebut. Digigitnya tidak putus. Digigitnya lagi belum juga putus. Ia heran mengapa daging itu tak mampu digigit. Ia bertanya kepada neneknya. “Nek,…ini lauk apa sih nek kok keras sekali, apakah belum matang dimasak?,” keluhnya. “Mana cu,…sini nenek lihat. Wah…..cucuku, rupanya cucu telah tertipu oleh para pelayan tadi. Yang mereka berikan kepada mu bukan sepotong daging, melainkan sepotong karet bakwan (karet latek yang dibekukan di tempurung kelapa, Red). Bentuk latek tersebut menyerupai sepotong daging ayam.
“Cucukku, mereka telah menipu dan menghina kita dengan memberikan makanan yang tidak pantas cucuku makan. Nanti nenek balas perbuatan mereka,” ujar nenek tua itu kesal.
Pergilah nenek ke tempat pesta tersebut dan membawa seekor anak anjing. Di tempat pesta, orang-orang masih ramai menyanyi dan menari menikmati suasana pesta perkawinan yang sepertia biasa dirayakan selama tiga hari tiga malam. Dengan rasa jengkel, nenek tadi langsung melancarkan aksi pembalasan sakit hatinya.
Anak anjing yang ia bawa diberinya pakaian seperti layaknya anak manusia. Anak anjing diberinya ikat kepala. Setelah selesai merias anak anjing itu, langsung dilemparkannya ke tengah-tengah orang yang sedang berpesta-pora.
Melihat anak anjing yang aneh diberi pakaian dan berjingkarak-jingkrak berlari seperti layaknya orang menari, para pengunjung pesta perkawinan tersebut tertawa terbahak-bahak. Menurut kepercayaan atau pantangan orang zaman dahulu, tidak boleh menertawai berbagai jenis binatang walaupun tampak aneh.
Setelah melaksanakan aksinya, nenek tersebut segera pulang menemui cucunya di rumah. “Cucuku, kita harus segera melarikan diri untuk mencari perlindungan karena sesaat lagi alam akan murka, sebab mereka telah menertawakan anak anjing yang seharusnya tidak boleh ditertawakan,” kata nenek tua itu. Kemudian bergegas mereka pergi ke pondok ladang berbekal sebilah pisau dan selembar tikar. Mereka berteduh di rumpun bambu yang daunannya cukup rindang.
Tidak lama kemudian suasana mulai gelap-gulita. Petir menggelegar sambung-menyambung dan menyambar sebuah rumah betang panjang (rumah panjang) tempat pesta tersebut. Akhirnya bekas sambaran petir tersebut berubah menjadi sebuah batu dan tergolek ke tepian Sungai Sekadau. Saat itu hujan pun turun begitu deras. Seluruh kampung dan penghuninya berubah menjadi sebongkah batu, dan batu tersebut sekarang dinamakan Batu Kenyalau.

Jumat, 21 Februari 2014

Cerita Lawang Kuari


Asal mula lawang kuari
Komplek Gua Lawang Kuari

KOMPLEKS gua ini berada di Desa Seberang Kapuas, Kecamalan Sekadau Hilir. Merupakan gua alam yang memiliki sejarah bagi kerajaan Sekadau yang merupakan tempat bertapa raja zaman kuno.
Gua ini berada di tebing Sungai Kapuas. Ada tiga gua berjejer (lubang). Konon katanya gua pertama paling kanan (hilir) milik sukuDayak, Bagian tengah milik suku Senganan (Melayu), dan bagian kiri (Hulu) milik suku China (Tionghoa). Kabupaten Sekadau adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kabupaten Sekadau merupakan daerah kecil yang memiliki potensi jalur transportasi segitiga, yakni daerah Nanga Taman dan Nanga Mahap yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ketapang. Kota Sekadau merupakan kota inti yang dilewati oleh jalur ke kota maupun pedalaman, daerah Tiga Belitang berbatasan dengan Senaning, Kabupaten Sintang dan Sarawak, Malaysia Timur.

Sekadau memilik tempat-tempat bersejarah, antara lain:
  • Lawang Kuari ( merupakan rumah betang yang melebur menjadi gua batu dalam legenda Sangik dan Marik ), di Jaman Kerajaan Sekadau, tempat ini digunakan oleh Pangeran Agong.
  • Batu Tinggi
  • Lawang Siti
  • Batu Kenyalau
Nah, khusus postingan kali ini, saya akan membahas tentang tempat wisata lawang kuari.

Lawang kuari terletak di Dusun Kelilit, Desa seberang kapuas, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten sekadau,.
Konon menurut kisah masyarakat setempat, Lawang Kuari adalah tempat Pangeran Agong mengasingkan diri setelah saudaranya diangkat menjadi raja. Pageran Agong adalah anak dari raja Sekadau, yaitu Pangeran Engkong. Pangeran Agong melarikan diri ke lawang kuari setelah mengalami perebutan tahta kerajaan bersama kedua saudaranya, yaitu Pangeran Kadar dan Pangeran Senarong.
Di lokasi ini, menurut kepercayaan masyarakat sekitar, berdiri sebuah istana milik Pangeran Agong. Namun, karena ditaburi abu gelap, maka yang tampak hanyalah gua baru yang menghadap ke Sungai Kapuas.

Ada beberapa cerita yang sempat didengar dan diperoleh dari masyarakat sekitar. Cerita pertama mengenai keberadaan tiga lubang gua yang terletak di sepanjang Gua Lawang Kuari ini. Tiga lubang gua ini ternyata dimiliki oleh suku yang berbeda-beda. Lubang pertama yang terletak di sebelah kanan (bagian hilir Sungai Kapuas) dimiliki oleh suku Dayak, lubang gua yang berada di bagian tengah dimiliki oleh suku Senganan (Melayu), sementara lubang terakhir yang berada di sebelah kiri (bagian hulu Sungai Kapuas) dimiliki oleh suku Tionghoa. Dulunya, masing-masing gua ini sering ditempati oleh para raja di Sekadau untuk bertapa. Konon, lorong yang berada di masing-masing lubang di gua ini memiliki panjang yang dapat menembus hingga kota Tayan di kabupaten Sanggau.

Lubang-lubang di mulut gua Lawang Kuari sendiri berukuran sangat kecil untuk dapat dimasuki oleh seorang manusia dewasa. Walau begitu, masyarakat percaya bahwa beberapa orang terpilih dapat masuk ke dalam lubang-lubang tersebut. Dan bagi mereka yang berhasil untuk merangkak masuk ke dalam gua ini, dipercaya akan mendapatkan banyak 'kekayaan' yang berada di dalam gua.
Sekitar tahun 1997 tempat ini masih berbentuk hutan lebat, dan tempat ini dijadikan masyarakat sekitar untuk area tempat bersemedi, untuk meminta kekayaan kepada dewa para  (baca : jubata). Mereka menyisikan uang-uang koin diantara celah batu-batu, mereka percaya, jika memberi koin kepada dewa, maka dewa akan mengembalikan koin yang mereka berikan 1000 kali lipat.
Untuk anda  yang tertarik mengunjungi Gua Lawang Kuari harus menyewa sebuah motor boat dari dermaga penyeberangan kabupaten Sekadau. Lokasi gua ini berada sekitar 1 km dari pusat kota Sekadau dan dapat ditempuh selama 15 menit perjalanan air.
Walaupun bagi para pendatang yang mengunjunginya Gua Lawang Kuari terlihat kumuh dan tidak memiliki arti apa-apa, gua ini justru mempunyai banyak kisah mengenai sejarah dan masa lalu kabupaten tersebut. Terletak di desa Seberang Kapuas, begitu melekatnya gua ini di hati masyarakatnya, gua ini dijadikan maskot bagi pemerintahan kabupaten setempat yang menyebut dirinya sebagai Bumi Lawang Kuari.